Sabtu, 05 Maret 2016

Bila, Saat itu Tiba



Bila, saat itu tiba
Hanya ada saya dan jiwa
Tiada kenal, hanya sapa
Tertunjuk ke arah belakang di antara
Dan bila, saat itu tiba
Hanya kamu dan tak seorang pun jua
Tergeletak di hamparan padang asa
Diam, kosong, dan sepatah kata tiada
Dan bila, saat itu tiba
Hanya aku dan akal bernyawa
Tergolak-golek dan melata
Menodong tali yang entah berujung di mana ?
Dan bila, saat itu tiba
Tiada sapa, tiada tahu asa
Tiada suara,tapi meronta sekonyong-konyongnya
Teriak, sungguh tak kuasa
Terkapar, mati, meloto, dan jerit tertahan jiwa
Dejavu alam di dalam alam sadar manusia
Ah, inilah bila, saat itu tiba ?

Kepadaku, Kamu pun jua, Cita-cita (part 2)



“Ian… Kayaknya aku gak jadi ambil broadcast, deh.” ujar saya dengan nada rendah, lemas, dan wajah yang murung ketika kami sedang di bukit cita-cita –nama yang kami berikan untuk bukit samping sekolah, mengangan-angan tentang masa depan.
            “Ha? Maksud kamu itu apa? Aku nggak ngerti??” jawab Dian sambil senyum-senyum mengamati langit biru abu-abu nan cerah di sore itu.
            “Hah! Kamu mah gitu orangnya! Dengerin baik-baik! Saya gak jadi ambil jurusan broadcast buat kuliah saya. Ya, jadinya gitu deh…”
            “Lhoh? Memangnya ada apa? Kenapa nggak jadi? Bukannya kamu pengen banget jadi broadcaster, ya?” ujar Dian sambil melirik tajam ke arah saya yang sedang asyik berimajinasi menggambar di langit dengan jari telunjuk yang menjadi kuas yang bercat warna-warni.
            “Ayah saya nggak setuju dengan pilihan saya. Kata ayah, saya lebih baik ambil jurusan seperti bisnis, hukum, atau apa pun asalkan nanti jelas apa pekerjaannnya. Kalau jadi broadcaster itu gak jelas. Yah, itu pun ibu saya juga menyetujuinya…”
            “Bukannya dulu, ibu kamu setuju kalo kamu jadi broadcaster, ya? Kenapa sekarang jadi berubah pikiran gitu?”
            “Yah, begitulah. Ibu saya itu setuju-setuju aja apa pun keputusan yang diambil ayah. Sebenarnya sih saya masih keberatan dengan keputusan ayah, tapi ya sudahlah. Saya urungkan niat saya dan fokus ke masa depan yang lebih baik lagi. Toh yang membiayai dan perhatian dengan diri saya adalah keluarga, ambil positifnya aja.”
            “Yah, jangan nerima gitu aja dong! Coba dimusyawarahin dulu. Ngomong baik-baik sama keluargamu. Mungkin dengan mendengar alasan kamu, mereka jadi berubah pikiran. Dulu, aku juga sama kayak kamu. ”
            “Hm….” Tersenyum sambil memeluk Dian.
***
            Hari berlalu begitu cepat. Kami pun kini duduk di bangku kelas XII SMA. Cita-cita kami pun masih sama sedari dulu. Dian yang bercita-cita menjadi seorang fotografer lepas dan saya yang bercita-cita menjadi seorang broadcaster dan traveller. Belum berubah walaupun waktu enam tahun mengimajinasikannya sudah berlalu jauh. Sangat jauh tertiup waktu dan jam yang berdentang tiap setengah jam sekali. Denting jam yang bergerak tiap detik, menghapus jejak-jejak kami yang menapak halus merangkai kisah kami, cita-cita kami, dan kehidupan kami. Walaupun usang, semangat kami masih baru dan membara. Meski telah tertimbun debu yang sangat tebal, jejak-jejak kami masih terlihat jelas nan gagah.
            Ujian Nasional telah berlalu. Tinggal menunggu pengumuman kelulusan dari sekolah. Sembari menunggu pengumuman tersebut, saya dan Dian mencari info tentang universitas terbaik di Indonesia. Ya, minimal ada jurusan yang kami minati. Kami pun sibuk dengan urusan masing-masing. Saya dengan dunia saya yang asing dan Dian dengan dunia fotografernya. Sebelumnya, Dian telah menjadi seorang fotografer amatir di kota kami. Ya, hanya sekadar memotret model, gambar-gambar indah yang nantinya dijual bebas kepada orang yang meminatinya. Namun dengan kegigihannya, ia mampu mengadakan pameran foto pertama karyanya sendiri yang bertajuk, “Self Confident”. Sangat bangga dengan kesuksesan sahabat sendiri, walaupun saya tidak tahu dengan nasib saya yang saya anggap sangat asing dengan diri saya, bisnis.
            Saya menuruti kemauan orang tua saya, jadinya saya memilih jurusan Administrasi Bisnis Universitas Indonesia. Asing, aneh, dan tak tahulah apa itu ‘bisnis’, tetapi saya menghargai, sangat menghargai keputusan orang tua saya. saya tetap bangga menjadi anak mereka, dengan segala ketentuan yang mengikat saya.
            Hasil Ujian Nasional telah keluar. Saya mendapat peringkat tiga paralel di sekolah, sedangkan Dian, mendapatkan peringkat lima paralel. Ya, saya cukup bangga dengan prestasi tersebut. Namun bagi saya, nilai bukanlah penunjukan kualitas diri atas kemampuan yang dimiliki. Hanya sebatas angka yang menjadi simbol ‘kejayaan dan kebanggaan sekejap mata dan sepintas waktu’. Tapi dapat menjadi berlian pertama untuk diberikan kepada orang tua.
***
(Lima tahun berlalu…)
            “Maaf, apakah benar ini pameran foto dari fotografer Dian Anggarwa?” tanya saya kepada salah seorang di dalam pameran tersebut yang saya kira adalah salah satu dari pengunjung, namun wajahnya yang sangat anggun seperti tidak asing di mata saya.
            “Iya, benar.” jawabnya lugas.
            “Kalau boleh tahu, di mana saya dapat bertemu fotografer Dian Anggarwa, ya? tanya saya bingung, masih mengamati gerak-geriknya dengan kacamata -2 saya.
            “Maaf, apakah Anda tidak mengenali saya?”
            “Aduh, maaf, Mas. Anda sepertinya tidak asing bagi saya, tapi saya masih belum paham betul dengan Anda. Oh, ya. Bisa saya bertemu dengan Dian Anggarwa sekarang?” dengan membenahi blezer brokat putih-tosca yang bersanding dengan pakaian terusan tosca dan sedikit hiasan di samping kanan hijab saya.
            “Haduh, duh. Ternyata, cuekmu masih sama seperti dulu SMA. Tidak pernah berubah! Dasar, ratu cuek!”
            “Maaf, Anda siapa ya?”
            “Masih belum mengenali saya? Lupa dengan kenangan di bukit cita-cita semasa SMA dulu? Masih lupa atau benar-benar hilang ingatan, ha?” tertawa kecil mengejek saya yang sangat kebingungan dengan perkataannya.
            “Ya Ampun, Dian ! Kamu benar-benar Dian Anggarwa si Fotografer jenius itu? Gak nyangka saya…” terkagum-kagum melihat kesuksesan Dian saat ini.
            Nggak mau berpelukan, nih? Yaudah. Saya tinggal, ya….” jawabnya sambil membalikkan badan.
            “Eh… dianya malah pergi!” saya tarik tangannya dan saya peluk kencang.
            “Aduhhh.. ! Saya susah nafas ini! Jangan kencang-kencang!” sambil menarik tubuhnya dari pelukan saya yang begitu eratnya.
            “Hei, perlihatkan karya terbaikmu dong, Ian!” sambil berjalan mengitari foto-foto yang terpajang di dinding-dinding lorong ruang.
            “Oke-oke. Sini, saya perlihatkan karya terbaik saya sepanjang masa karir fotografi saya.”
            Kami pun berjalan menuju ruang istimewa, tempat di mana karya teragung Dian disimpan. Tak terlihatkan di sembarang tempat. Tidak pula terbingkaikan dengan sembarang bingkai kayu. Wangi, berpahat indah, terukir dengan sangat detail di setiap liukan-liukan alur ukiran bingkai. Serta tidak pula tertutup kaca dengan sembarang kualitas. Mengkilap dan indah.
            “Loh! Inikan foto saya sewaktu mencari berita di daerah Afrika Selatan! Kapan kamu mengambilnya?”
            Hanya tersenyum manja dan tak mengeluarkan satu pun kata di bibir mungilnya.
***
            Tak hanya satu permata yang saya dapatkan di masa depan ini, lebih dari dua bahkan tiga. Tidak menyesal dan tak akan pernah saya sesali segala keputusan saya yang direstui oleh kedua orang tua. Saya bangga menjadi anak mereka. Saya bangga dengan keputusan yang saya ambil dahulu. Walaupun awalnya aneh, berat, asing, dan sama sekali tidak nyaman untuk dijalani, tetap sabar. Toh, garis Tuhan masih tergambar bebas di lintasan nasib saya. berwarna warni dan teduh. Berkelok-kelok dan tak jarang halilintar menyambar, jurang menghadang, dan badai menerpa. Tetap kokoh walau tertatih saat terus berjalan hingga berusaha lari dengan terpincang-pincang.
Masa lalu, masa sekarang, dan masa depan adalah satu paket waktu yang terus bersama-sama dengan saya. Menyelimuti dinding-dinding harapan dan sebagai alarm pengingat langkah berpijak. Dunia ini, dunia Dian, dunia kedua orang tua saya selalu berputar di sekeliling saya. menjaga saya dan memerhatikan saya. Terima kasih atas arti kehidupan ini, Dian. Sahabat ternama dalam barisan teman-teman saya. terima kasih ayah, ibu atas arti restu untuk setiap langkah saya. Orang tua terhebat yang saya miliki. Dan terima kasih garis waktu atas nasib yang selalu menyetaiku dan alarm pengingatku.
***
            Tak salah memang jika kita memiliki cita-cita sendiri. Cita-cita agung untuk masa depan kita. Tak salah memang jika kita berambisi untuk mewujudkan segalanya semampu kita, sekuat tenaga kita, dan sekeras batu komitmen kita untuk tetap menjaga cita-cita. Namun, tak ada salahnya juga dengan cita-cita yang bergabung dengan nasehat orang tua, dengan izin dan restu orang tua, serta dengan senyum bahagia orang tua kita. Tak ada salahnya kita berbagi kehidupan kita dengan orang tua kita. Mereka adalah permata indah disekeliling mutiara cita-cita. Mereka adalah bintang disekeliling bulan. Toh akhirnya, Tuhanlah yang akan memutuskan ke mana jalur kereta yang akan kita lalui. Ke mana nasib hidup kita selanjutnya dan selanjutnya. Dan terakhir, di stasiun mana, kereta kita akan berhenti untuk sekadar beristirahat atau benar-benar terhenti oleh waktu.

[before]
**to be continued**